3 (TIGA) MINDSET MENGAJAR YANG PERLU (KEMBALI) DIPERBAHARUI OLEH GURU ERA PANDEMI

Foto : Dahlan, S.Ag (Kepala MTs Negeri 7 Aceh Utara

Oleh :

Dahlan, S.Ag Kepala MTsN 7 Aceh Utara

Era pandemi telah menghadirkan tantangan tersendiri bagi guru dalam mengajar. Suasana hati berubah, kondisi lingkungan ajar berubah, bahkan sistem pembelajaran pun ikut berubah. Hanya satu hal yang tidak pernah berubah, yaitu, pendidikan adalah hak tiap-tiap anak bangsa.

Darinya, guru menjadi salah satu pelaku pendidikan yang paling disorot. Kinerjanya, kompetensi keilmuannya, kompetensi IT-nya, juga kegesitannya dalam beradaptasi mengikuti keadaan zaman.

Terlebih lagi dengan adanya sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), alih-alih mau mengejar target kurikulum, guru bisa saja menjadi pihak yang tersalahkan jika “Mengorbankan” siswa untuk melahap materi ajar dengan porsi yang luar biasa.

Demi “Mengamankan” posisi guru, dihadirkanlah Kurikulum Darurat yang mengedepankan fleksibilitas dan esensi. Penyesuaian ini tertuang dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 719/P/2020 tertanggal 7 Agustus 2020 kemarin.

Hanya saja, sadar atau tidak paradigma mengajar sebagian guru mulai kambuh ke “penyakit” lama. Imbas dari pandemi, tidak sedikit anak-anak yang mengeluh akan begitu banyaknya tugas serta tak mendapat “The Power of Instruction” yang komplit dari guru.

Sesungguhnya ini alamat bahaya. Ketika guru kembali kepada paradigma dan mindset mengajar zaman bahuela, ketika itu pula keinginan negeri ini untuk segera melakukan transformasi pendidikan jadi terhambat.

Maka dari itu, perlu kiranya bagi guru untuk kembali memperbaharui 3 (tiga) mindset mengajar berikut ini :

  1. Pembelajaran Berpusat Pada Siswa
    Mengapa pembelajaran yang berpusat pada siswa perlu kembali diperbaharui? Alasannya sederhana. Dengan sistem PJJ, kesempatan pembelajaran yang mengandalkan sumber informasi serta sumber jawaban dari guru kembali terbuka. Terlebih lagi bila sistem PJJ-nya adalah modul dan luring, guru bisa semakin mudah menjadi sentral pembelajaran hingga menyentuh sifat didaktis. Bahaya, kah? Tentu tidak, hanya saja jika dibiarkan lama-lama, siswa akan cenderung pasif karena guru “lebih sibuk” daripada mereka. Guru terlalu sibuk “memantaskan” dirinya untuk menjadi sumber dan penyedia pengetahuan yang lengkap sehingga kesempatan siswa untuk mencari dan berusaha menjadi berkurang. Maka dari itulah, mindset bahwa pembelajaran mesti dipusatkan kepada siswa perlu kembali diperbaharui. Walaupun sistemnya PJJ, bukan berarti siswa berhenti menjadi seorang pelajar yang interaktif. Beberapa kali, mereka juga perlu mengalami dan menjadi sentral pembelajaran.
  2. Guru Sebagai Kolabolator Ketika pembelajaran tatap muka berlangsung, barangkali ketika itu pula seorang guru akan dipandang sebagai sosok pakar. Guru semakin mudah menuangkan isu-isu, fakta-fakta, hingga konsep pengetahuan yang unggul secara kuantitas sembari berkolaborasi dengan siswa. Namun, di era pandemi semuanya bisa berubah. Karena keterbatasan kesempatan untuk bertatap muka, baik secara nyata maupun virtual, guru punya peluang lebih besar untuk memegang kendali pembelajaran secara penuh. Sesekali sih, tak begitu masalah. Tapi kalau sudah jadi kecenderungan, ini alamat bahaya. Terang saja, tidak semua siswa memiliki kemampuan belajar yang sama, baik secara finansial, material, maupun kesempatan. Rugi akhirnya bila ada sebagian siswa yang tak mendapatkan layanan pembelajaran yang sama rata dan sama rasa. Jadi, di sini, mindset mengajar guru perlu diarahkan kepada pentingnya kolaborasi dan peran guru sebagai penyedia alternatif pembelajaran. Sederhananya, sesekali dengarlah saran siswa maupun orangtua murid.
  3. Mengajak Siswa Untuk Berpikir Kritis dan Lebih Berani Mengambil Keputusan Bukankah Kurikulum Nasional saat ini sudah menuntun siswa untuk berpikir kritis (critical thinking)? Tentu saja, demi mengajak menyelami pengetahuan secara lebih “dalam” lagi, pembelajaran perlu diarahkan kepada Higher Order Thinking Skills (HOTS). Kebiasaan untuk mengukur keterampilan siswa dari sisi pengetahuan, pemahaman, mengingat, menghafal, dan aplikasi perlu diarahkan ke arah analisis, evaluasi hingga sintesis. Terang saja, pengetahuan di zaman sekarang tidaklah cukup untuk sekadar tahu, melainkan juga harus dipikirkan bahwa siswa akan menciptakan apa dari pengetahuan tersebut. Kalau sekadar tahu, google lebih tahu. Masa iya siswa harus kalah dengan mesin yang tak punya perasaan! Ups. Namun, berbeda kisah ketika pandemi hadir dan PJJ mulai terlaksana. Pentingnya pembelajaran seakan dikalahkan dengan prioritas terhadap kesehatan. Kurikulum harap “diabaikan” sedangkan esensi dari materi ajar diminta untuk terus digaungkan. Sebenarnya malah jadi lebih enak dan mudah dalam mengajar, kan? Pastinya, materi ajar cenderung lebih minimalis dan target kompetensi jadi berkurang. Hanya saja, mengejar esensi pembelajaran tidaklah mudah. Terlebih lagi jika guru era pandemi lebih asyik meracik soal-soal pilihan ganda maupun pendekatan evaluasi sederhana dan berpijak dengan dalih “yang penting kan anak dapat materi ajar dan guru telah menggunakan teknologi!”, maka ini juga alamat bahaya. Demi menciptakan PJJ yang bermutu, maka mindset seperti ini perlu diubah, perlu diperbaharui dan difokuskan kepada kebutuhan siswa. Apakah itu tentang memecahkan suatu masalah, melakukan analisis terhadap isu, hingga mengevaluasi sebuah kebijakan, guru perlu hadir sebagai mitra belajar siswa. Dalam suasana pandemi, kita sama-sama memahami bahwa sebongkah materi pembelajaran yang diberikan tidak akan efektif. Meski begitu, mindset agar kegiatan mengajar jadi efektif tetap penting, kan? Terlebih lagi, kesenjangan dalam keefektifan mengajar dan cara mengajar saat ini ternyata telah menjadi penyebab utama kurangnya hasil belajar siswa. Bahkan, permasalahan ini pun dicantumkan sebagai bahasan Peta Jalan Sistem Pendidikan Indonesia periode 2020-2035. Adapun kesenjangan mengajar yang tersorot adalah, guru kebanyakan bertindak sebagai pemberi ilmu, bukan fasilitator, dan kurang atau tidak fokus pada pengembangan karakter dan penanaman rasa senang belajar. Syahdan, pertanyaan guru cenderung dangkal karena ~90% jawaban siswa hanya satu kata dan jarang melibatkan berpikir aras tinggi (higher order thinking) dan kurang penjelasan/alasan jawaban. Alhasil, gerak-gerik guru sebagai salah satu pelaku pendidikan di negeri ini benar-benar disorot, bukan? Maka dari itulah, dalam suasana pandemi ini mindset mengajar guru yang sudah benar perlu diperbaharui. Mengingat PJJ adalah hal baru dan keakraban terhadap teknologi pendidikan mulai tercipta, peluang negeri ini untuk bertransformasi semakin terbuka. Kita semua sedang mengusahakannya.

Salam, semoga bermanfaat bagi pembaca setia Media haba RAKYAT dimanapun berada. (***)